Suatu petang selepas shalat Isya, seseorang datang ke tempat kang  Soleh. Pakaiannya rapi, di saku bajunyapun terselip sebuah pulpen  parker. Sorot matanya tajam, walau dibalut kaca mata minus.  Kedatangannya ke tempat kang Soleh hanya ingin berkonsultasi tentang  merasakan manisnya ibadah.
Setelah berbasa – basi, orang itupun mulai bertanya kepada kang Soleh.
”Maaf nih kang, saya sudah bertanya ke beberapa orang tentang  suatu hal, yang menurut saya, sulit untuk difahami oleh saya. Penjelasan  yang diberikan oleh orang – orang yang saya ajak bicara, hanya bersifat  verbal dan sulit difahami oleh akal sehat saya” celoteh orang itu.
”Lo… kalau sampeyan, sudah bertanya ke beberapa orang mengapa masih tanya kepada saya ?” jawab kang Soleh.
”Nah… justru saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan, makanya saya ingin bertanya kepada kang Soleh.”
”Jadi… apa nih, masalah sebenarnya ?”, tanya kang Soleh sambil tersenyum.
”Merasakan manisnya ibadah kang ….. ” celetuk orang itu.
”Lo… itu sudah jelas, tidak sedikit dalil yang menerangkan tentang manisnya ibadah.” jawab kang Soleh.
”Justru itu kang, saya dibuat pusing……. sekarang logikanya  begini kang, bagaimana mungkin ibadah kok terasa manis ? kalau maksiat  dibilang manis, itu masuk logika kang.” sergah orang itu.
Diam – diam kang Soleh mulai mengetahui arah pembicaraan orang yang  ada di depannya. Dari bibirnyapun terdengar lirih lantunan istighfar.  Sementara kang Soleh masih terdiam, orang itupun berkata lagi.
”Sekarang begini kang, seumpama saya bekerja di sebuah  perusahaan sebagai kepala bagian purchasing, otomatis semua vendor –  vendor yang ingin memasukkan barang ke tempat perusahaan saya bekerja,  keputusannya ada di tangan saya. Nah, di posisi yang seperti ini kang,  bukankah korupsi merupakan hal yang manis ? dan saya pun yakin banyak  orang yang mengidam – idamkann posisi seperti yang saya tempati. Kenapa ?  karena posisi basah kang, kenapa basah ? ya … karena banyak sumber uang  yang bisa dikorupsi.”
Mendengar ocehan orang itu, kang Solehpun masih terdiam. Melihat  diamnya kang Soleh orang itupun kembali melanjutkan bicaranya.
”Terus sekarang kan lagi ramai – ramainya piala dunia kang,  sudah menjadi tren khususnya di kota – kota, ada acara nonton bareng  piala dunia. Nah… biar lebih jreng ada juga yang pakai taruhan, biar  lebih semangat… kalau jagoannya menang, selain senang, masih ada  bonusnya kang… yakni dapat uang taruhan, yang begini … nih… kan manis  namanya.”
”Ada juga yang tidak kalah hebohnya kang sekarang, ”video porno  mirip artis”, yang ini nih kang… dari bos sampai cleaning service  berebut ikutan nonton, apalagi begitu maraknya pemberitaan sehingga  memancing rasa keingintahuan khalayak, termasuk anak – anak SD kang ?  masak mau dilarang melihat video itu ?”
Sesaat kemudian, orang itu terlihat mengakhiri pembicaraannya. Kang  Solehpun masih terdiam termangu – mangu mendengar penuturan orang itu.  Dalam lubuh hati yang terdalam kang Soleh berkata, ”orang seperti ini  belum tentu terbuka hatinya, bila dijawab langsung dengan menukil ayat –  ayat Al Qur’an ataupun Al Hadits, bagi dia hanya jawaban yang masuk  logika yang bisa ia terima.”
”Sudah, hanya itu ceritanya ?” mendadak kang Soleh bertanya.
”Ya itu kang, realita yang ada sekarang… yang membuat saya tidak  bisa mengerti, dan memahami, ”merasakan manisnya ibadah.” jawab orang  itu.
Setelah terdiam sebentar, sesaat kemudian kang Soleh berkata,
” Mau minum kopi atau teh manis, ni ?”
” Teh manis, saja kang….. kalau tidak merepotkan”, jawab orang itu.
Sesaat kemudian, kang Solehpun meminta isterinya membuatkan dua  gelas teh manis untuk dirinya dan orang itu. Setelah sama – sama  meminum, kang Soleh berkata.
” Teh ini…. rasanya manis ya ? ”
” Ya … iya lah kang, wong pakai gula… ya jelas manis rasanya.” jawab orang itu.
” Tapi, ada juga lo…. orang yang tidak bisa merasakan manisnya gula ?” balas kang Soleh.
”Ga mungkin kang…. sudah dari sononya gula rasanya manis, mau  bodoh, mau pinter, mau pejabat, mau pengemis…. kalau minum pakai  campuran gula…jelas rasanya manis.” jawab orang itu.
”Orang yang sedang sakit…………” jawab kang Soleh.
Orang itupun tersenyum …. mendengar jawaban kang Soleh. Sesaat kemudian kang Soleh melanjutkan kata – katanya.
”Orang yang sedang sakit, tidak bisa merasakan manisnya gula.  Terlepas yang sakit oranga bodoh, orang pinter, pejabat, pengemis, di  saat sedang sakit, gula yang sejatinya rasanya manis terasa pahit di  lidah orang sakit itu.”
”Rasa pahit yang ia rasakan, bukan karena gula tidak manis  rasanya, namun karena ia sedang dalam keadaan sakit…., ia tidak bisa  merasakan manisnya gula…. melainkan pahit, walaupun rasa gula yang  sesungguhnya rasanya manis.”
”Orang yang sakit, bisa kembali merasakan manisnya rasa gula,  ketika ia sudah menjadi sehat. Ia bisa menjadi sehat dikala penyakit –  penyakit dalam tubuhnya sudah diobati dengan obat yang sesuai untuk  penyakitnya, serta ditangani oleh dokter yang memang ahli mengobati  penyakit tersebut.”
”Di saat sakitnya telah sembuh, dan sehatnya telah kembali, maka  orang tersebut ketika meminum teh manis… bukan lagi pahit yang ia  rasakan seperti rasa saat sakit, melainkan manis yang ia rasakan  sebagaimana rasa yang dialami oleh orang – orang sehat lainnya.” 
Mendengar penuturan dari kang Soleh, wajah orang itu sedikit  kelihatan pucat….diam – diam, ia mulai sedikit memahami pembicaraan kang  Soleh. Setelah menghela nafas, untaian kalimat meluncur dari kang  Soleh.
”Orang yang hatinya mengidap penyakit tidak akan bisa merasakan  manisnya ibadah, walaupun dijelaskan dengan penjelasan panjang lebarpun  tidak akan bisa menerimanya, sebagaimana orang yang sedang sakit tidak  bisa merasakan manisnya gula, walaupun dijelaskan secara ilmiah tentang  zat pemanis yang terkandung di dalam gula.”
”Orang bisa merasakan manisnya ibadah, dikala penyakit –  penyakit di hatinya telah terobati, serta ditangani oleh guru pembimbing  yang sempurna sebagaimana ditangani oleh dokter – dokter ahli”
”Begitu mutlaknya guru pembimbing, karena hanya dengan  bimbingannyalah kita mengetahui jenis – jenis penyakit yang ada dalam  hati kita, sebagaimana seorang dokter lebih mengetahui jenis penyakit  yang diderita oleh tubuh kita, dibanding diri kita sendiri yang penuh  kebodohan.”
”Orang – orang yang sakit hatinya, walaupun sedang beribadah di  hamparan permadani Rabbani dan berhadapan secara langsung secara hakiki  dengan Allah SWT, tidak bisa merasakan manisnya sebuah ibadah, padahal  Allah sudah sangat dekat dan bahkan lebih dekat dari urat lehernya  sendiri.” 

0 komentar:
Posting Komentar