Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena  bom atom sekutu  (Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit. Mau  tidak mau  harus diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan  sudah  menjelma menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi.   Alhamdulillah saya mendapat kesempatan 10 tahun tinggal di Jepang untuk   menempuh studi saya. Dalam artikel sebelumnya saya mencoba memotret Jepang dari satu sisi.   Kali ini, saya mencoba merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang   bisa sukses seperti sekarang. Tentu rumusan ini di beberapa sisi agak   subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan   orang Jepang di sekitar perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama.   Intinya kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil   untuk membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa   Jepang selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif   yang tidak harus kita contoh.  
 
Rabu, 23 November 2011
10 Resep Sukses Bangsa Jepang
1. KERJA KERAS
Sudah  menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah  pekerja keras.  Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450  jam/tahun,  sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun),  Inggris  (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680   jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil   dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk   membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh  dikatakan  bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6  orang.  Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak  memalukan” di  Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk  “yang tidak  dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga  biasa pulang  malam (tepatnya pagi 
   ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati   karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar   literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya   kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.
2. MALU
Malu  adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa  Jepang. Harakiri (bunuh  diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi  ritual sejak era  samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran.  Masuk ke dunia  modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena  “mengundurkan diri” bagi  para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang  terlibat masalah korupsi  atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek  negatifnya mungkin adalah  anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri,  karena nilainya jelek atau  tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang  Jepang  lebih senang  memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi  di belakangnya  dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka  secara otomatis  langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang  membutuhkan,  pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton  sepak bola, di  halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di  stasiun-stasiun, mereka  berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu  terhadap lingkungannya  apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma  yang sudah menjadi  kesepakatan umum.
3. HIDUP HEMAT
Orang  Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam  keseharian. Sikap anti  konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai  bidang kehidupan. Di  masa awal mulai  kehidupan di Jepang, saya sempat  terheran-heran dengan  banyaknya orang Jepang ramai belanja di  supermarket pada sekitar jam  19:30. Selidik punya selidik, ternyata  sudah menjadi hal yang biasa  bahwa supermarket di Jepang akan memotong  harga sampai separuhnya pada  waktu sekitar setengah jam sebelum tutup.  Seperti diketahui bahwa  Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul  20:00. Contoh lain  adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda  menuju toko sayur  agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau  30 yen. Banyak  keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena  tidak mampu,  tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk  bepergian.  Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas  ruangan menggunakan  minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi,  padahal sudah cukup  dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya  ternyata satu,  minyak tanah lebih murah daripada listrik. Professor  Jepang juga  terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan   mahasiswa-mahasiswanya.
4. LOYALITAS
Loyalitas  membuat sistem karir di sebuah perusahaan  berjalan dan tertata dengan  rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di  Amerika dan Eropa, sangat jarang  orang Jepang yang berpindah-pindah  pekerjaan. Mereka biasanya bertahan  di satu atau dua perusahaan sampai  pensiun. Ini mungkin implikasi dari  Industri di Jepang yang kebanyakan  hanya mau menerima fresh graduate,  yang kemudian mereka latih dan didik  sendiri sesuai dengan bidang  garapan (core business) perusahaan. Kota  Hofu mungkin sebuah contoh  nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang  sangat tertinggal dengan  penduduk yang terlalu padat. Loyalitas  penduduk untuk tetap bertahan  (tidak pergi ke luar kota) dan punya  komitmen bersama untuk bekerja  keras siang dan malam akhirnya mengubah  Hofu menjadi kota makmur dan  modern. Bahkan saat ini kota industri  terbaik dengan produksi kendaraan  mencapai 160.000 per tahun.
5. INOVASI
Jepang  bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang  mempunyai kelebihan dalam  meracik temuan orang dan kemudian  memasarkannya dalam bentuk yang  diminati oleh masyarakat. Menarik  membaca kisah Akio Morita yang  mengembangkan Sony Walkman yang melegenda  itu. Cassete Tape tidak  ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh  perusahaan Phillip  Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan  membundling model  portable sebagai sebuah produk yang booming selama  puluhan tahun adalah  Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu.  Sampai tahun 1995,  tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan  jumlah total produksi  mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan  kendaraan roda empat juga  bukan diciptakan orang Jepang, patennya  dimiliki orang Amerika. Tapi  ternyata Jepang dengan inovasinya bisa  mengembangkan industri perakitan  kendaraan yang lebih cepat dan murah.  Mobil yang dihasilkan juga  relatif lebih murah, ringan, mudah  dikendarai, mudah dirawat dan lebih  hemat bahan bakar. Perusahaan  Matsushita Electric yang dulu terkenal  dengan sebutan “maneshita”  (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin  pembuat rotinya. Inovasi dan  ide dari seorang engineernya bernama Ikuko  Tanaka yang berinisiatif  untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef  di Osaka International  Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti  (home bakery) bermerk  Matsushita yang terkenal itu.
6. PANTANG MENYERAH
Sejarah  membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa  yang tahan banting dan  pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah  kekaisaran Tokugawa yang  menutup semua akses ke luar negeri, Jepang  sangat tertinggal dalam  teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin)  datang, bangsa Jepang  cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.  Kemiskinan sumber daya alam  juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak  hanya menjadi pengimpor  minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu,  bahkan 85% sumber energi  Jepang berasal dari negara lain termasuk  Indonesia. Kabarnya  kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi,  maka 30% wilayah  Jepang akan gelap gulita     Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di   Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan   ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak   habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun   industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin   cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur   dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945   masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga   menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya   menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang   mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony   Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang   harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan   nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih   jauh tentang ini
7. BUDAYA BACA
Jangan  kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke  densha (kereta  listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak  maupun dewasa  sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau  berdiri, banyak  yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak  penerbit yang  mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk  materi-materi  kurikulum  sekolah baik SD, SMP maupun  SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa,  dsb disajikan dengan menarik  yang membuat minat baca masyarakat semakin  tinggi. Saya pernah membahas  masalah komik pendidikan   di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan   dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis,   jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah   dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan   terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa   Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya   diterbitkan. Saya biasa membeli buku literatur terjemahan bahasa Jepang   karena harganya lebih murah daripada buku asli (bahasa inggris).
8. KERJASAMA KELOMPOK
Budaya  di Jepang tidak terlalu mengakomodasi  kerja-kerja yang terlalu  bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil  pekerjaan, biasanya  ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena  ini tidak hanya di  dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya  juga seperti itu,  mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam  bentuk kelompok.  Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan  terbesar orang  Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan  kalah dengan  satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor  Amerika tidak  akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang  berkelompok”.  Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi”  adalah ritual  dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan  dalam “rin-gi”.
9. MANDIRI
Sejak  usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri.  Irsyad, anak saya yang  paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien)  di Jepang. Dia harus  membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento  (bungkusan makan  siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol  besar minuman yang  menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak  dilatih untuk membawa  perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab  terhadap barang miliknya  sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah  hampir sebagian besar tidak  meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen  seangkatan saya dulu di  Saitama University mengandalkan kerja part time  untuk biaya sekolah dan  kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang,  mereka “meminjam” uang  ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di  bulan berikutnya.
10. JAGA TRADISI
Perkembangan  teknologi dan ekonomi, tidak membuat  bangsa Jepang kehilangan tradisi  dan budayanya. Budaya perempuan yang  sudah menikah untuk tidak bekerja  masih ada dan hidup sampai saat ini.  Budaya minta maaf masih menjadi  reflek orang Jepang. Kalau suatu hari  anda naik sepeda di Jepang dan  menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget  kalau yang kita tabrak malah  yang minta maaf duluan. Sampai saat ini  orang Jepang relatif  menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat  tawaran dari orang  lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan  dengan orang Jepang  karena ”hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang 
    Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang.   Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah,   tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para   petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan   pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk   orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang   merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Mungkin  seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya  rangkumkan. Bangsa  Indonesia punya hampir semua resep orang Jepang  diatas, hanya mungkin  kita belum mengasahnya dengan baik. Di Jepang  mahasiswa Indonesia  termasuk yang unggul dan bahkan mengalahkan  mahasiswa Jepang. Orang  Indonesia juga memenangkan berbagai award  berlevel internasional. Saya  yakin ada faktor “non-teknis” yang membuat  Indonesia agak terpuruk  dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama  mencari solusi untuk  berbagai permasalahan republik ini. Dan terakhir  kita harus tetap mau  belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga.
Tetap dalam perdjoeangan !
Sumber  :  http://romisatriawahono.net/2007/06/13/10-resep-sukses-bangsa-jepang/ 
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar